Buku Tentang Tradisi Harakiri di Jepang
HARAKIRI adalah menyodet perut sendiri dengan pisau
pendek setajam silet. Bukan hanya menusuk, tetapi menyobek perut dari
arah kanan ke kiri, dan dari atas ke bawah. Tak boleh merintih
kesakitan, apalagi teriak mengaduh —meski usus terburai. Dan bila tak
sanggup menahan siksa atas kepedihan itu, seorang
Kaishaku (algojo) siap memenggal kepala hingga nyawa meregang dari raga.
Harakiri, dari kata
Hara (perut) dan
Kiru (memotong)
sama sekali bukan aksi konyol para pecundang. Pertaruhan teramat mahal
untuk kehormatan, harga diri, pengabdian, dan menumpas rasa malu, adalah
jawaban atas lelaku Harakiri. Harakiri juga bisa berbentuk
Junshi,
alias kesetiaan sampai mati. Contohnya, ketika majikan seorang Samurai
mati, maka para pengikut setianya melakukan bunuh diri, sebagai bukti
kesetiaan ”sehidup dan semati”.
Junshi ini, bisa dilakukan
perorangan ataupun bersama-sama. Ritual ini pun, dengan demikian, hanya
berlaku untuk golongan tertentu: para Samurai, Shogun, atau Ronin. Pada
mereka yang melaksanakan ajaran atau prinsip
Bushido (The Way of Warrior, atau Jalan Samurai).
Sementara, lelaku bunuh diri untuk kalangan awam adalah
Sepukku. Dunia juga mengenal bentuk bunuh diri yang lain di Jepang, misalnya
Kamikaze, yaitu pasukan udara yang bertempur berani mati, dan sanggup meluluhlantakkan
Pearl Harbour, Amerika Serikat —yang akhirnya menyebabkan jatuhnya Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki.
Di luar Jepang, tentu saja Harakiri adalah tradisi membingungkan.
Lebih sering terjadi salah mengerti, dan menganggap Harakiri adalah
bunuh diri biasa (sebagaimana dilakukan di banyak tempat, dengan motif
putus asa atau menyerah pada ganasnya kehidupan). Sejatinya, sebagai
sebuah tradisi yang berlangsung sejak lama, nilai-nilai Harakiri justru
bertabur dengan mantra keagungan dan kesetiaan total. Menurut buku ini,
yang berjudul
Sang Samurai, Kisah 47 Ronin dan Kehebatan Samurai Jepang, praktek Harakiri adalah bukti ajaran Bushido, yang menekankan pada unsur kesetiaan dan ketaatan, atau
loyality and filial piety (halaman 25).
Awal Mula
Saat ini bukan berarti Harakiri sudah tanggal. Melainkan masih
menjadi praktek non Samurai yang membuat publik Jepang resah. Betapa
tidak, aksi bunuh diri ini juga kerap melanda warga biasa. Mulai dari
seniman, pelajar, hingga pejabat yang merasa malu karena terlibat
skandal. Beberapa publikasi menyebut, pemerintah Jepang mengeluarkan
anggaran sangat besar guna menghentikan ”tradisi” bunuh diri di Jepang.
Namun, statistik bunuh diri tetap saja tinggi. Menurut beberapa
publikasi, seperti dilakukan oleh
Far Easteren Economi Review (1983),
Japan Times, dan
Ministry of Health and Welfare (2006)
, menyebutkan tak kurang dari 3.000 kasus bunuh diri di Jepang. Tentu saja ini ke luar dari alur tradisi yang sebenarnya.
Penyimpangan dari alur sejarah adalah karena kasus-kasus bunuh diri
di Jepang moderen, jauh dari spirit keberanian, kehormatan, dan etika
Samurai yang lain. Satu hal yang sangat kentara, bahwa dalam sejarah
Harakiri yang sesungguhnya, praktek Harakiri dilakukan dengan ritual
yang agung —jauh dari kesan pecundang dan putus asa.
Dalam buku ini, tercantum di halaman 51, tergambar tahap dan proses
berlangsungnya Harakiri. Seorang ksatria Samurai yang akan ”bunuh diri”,
melakukan beberapa metode khusus. Diantaranya: mandi, mengenakan
pakaian terbaik dan biasanya warna putih, memakan makanan yang paling
disukai, dan meletakkan alat-alat pembunuh di atas sebuah nampan.
Setelah itu, lalu menulis puisi kematian
(death poem) yang
seindah mungkin. Terakhir, ia harus menyiapkan pisau yang akan digunakan
memotong perutnya sendiri, yaitu sebuah pisau pendek yang tajam
(bernama tanta). Ritual ini, bagaimanapun bukti bahwa Harakiri bukan
aktivitas sembarangan. Hanya orang-orang berani, setia, jujur, dan tahu
malu sajalah yang sanggup melakukan. Bukan oleh para pecundang dan
pengecut.
Etika Jepang
Nilai-nilai keberanian dan kesetiaan dalam berbakti inilah yang
kemudian menjadi ciri unggul manusia Jepang. Dunia telah menyaksikan
sendiri, bagaimana Jepang menjadi bangsa unggulan dalam aspek militer
(dalam perang dunia dulu), juga kehebatan dalam sisi ekonomi dan ilmu
pengetahuan. Etos Jepang yang bersandar pada Religi Tokugawa dan Etos
Bushido, menjadi sumber dan inspirasi pada cara hidup kebanyakan orang
Jepang. Mereka memiliki harga diri yang tinggi.
Bukan berita aneh, jika di Jepang melakukan kesalahan kecil dan dosa
sosial dianggap meruntuhkan harga diri. Jiak seorang pejabat terindikasi
korup, mereka memilih mundur —dan bahkan ada yang melakukan bunuh diri.
Mereka, Bangsa Jepang, jauh dari watak pengecut dan pecundang. Spirit
ini makin membuktikan kedahsyatannya manakala Bangsa Jepang membuka diri
dari isolasi panjangnya. Tatkala berlangsung Restorasi Meiji, ketika
Kaisar membuat kesepakatan dengan Komodor Perry, untuk membuka Jepang
dari keterkungkungan terhadap dunia luar.
Catatan akhir, buku ini sebenarnya bisa lebih menarik andaikata
dibuat dengan cara pengisahan, dan bukan mengikuti struktur buku
sejarah. Bila itu yang dilakukan, maka cerita-cerita dramatik para Ronin
(Samurai kelas bawah) yang legendaris —dan melakukan bunuh diri massal,
akan lebih hidup. Tetapi bagaimanapun, sebagai referensi tambahan, buku
ini memperkaya khasanah pemikiran kita terhadap budaya Jepang.