Jumat, 20 April 2012

Buku Tentang Tradisi Harakiri di Jepang


Buku Tentang Tradisi Harakiri di Jepang

Buku Tentang Harakiri
HARAKIRI adalah menyodet perut sendiri dengan pisau pendek setajam silet. Bukan hanya menusuk, tetapi menyobek perut dari arah kanan ke kiri, dan dari atas ke bawah. Tak boleh merintih kesakitan, apalagi teriak mengaduh —meski usus terburai. Dan bila tak sanggup menahan siksa atas kepedihan itu, seorang Kaishaku (algojo) siap memenggal kepala hingga nyawa meregang dari raga.

Harakiri, dari kata  Hara (perut) dan Kiru (memotong) sama sekali bukan aksi konyol para pecundang. Pertaruhan teramat mahal untuk kehormatan, harga diri, pengabdian, dan menumpas rasa malu, adalah jawaban atas lelaku Harakiri. Harakiri juga bisa berbentuk Junshi, alias kesetiaan sampai mati. Contohnya, ketika majikan seorang Samurai mati, maka para pengikut setianya melakukan bunuh diri, sebagai bukti kesetiaan ”sehidup dan semati”. Junshi ini, bisa dilakukan perorangan ataupun bersama-sama. Ritual ini pun, dengan demikian, hanya berlaku untuk golongan tertentu: para Samurai, Shogun, atau Ronin. Pada mereka yang melaksanakan ajaran atau prinsip Bushido (The Way of Warrior, atau Jalan Samurai).
Sementara, lelaku bunuh diri untuk kalangan awam adalah Sepukku. Dunia juga mengenal bentuk bunuh diri yang lain di Jepang, misalnya Kamikaze, yaitu pasukan udara yang bertempur berani mati, dan sanggup meluluhlantakkan Pearl Harbour, Amerika Serikat —yang akhirnya menyebabkan jatuhnya Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki.

Di luar Jepang, tentu saja Harakiri adalah tradisi membingungkan.  Lebih sering terjadi salah mengerti, dan menganggap Harakiri adalah bunuh diri biasa (sebagaimana dilakukan di banyak tempat, dengan motif putus asa atau menyerah pada ganasnya kehidupan). Sejatinya, sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejak lama, nilai-nilai Harakiri justru bertabur dengan mantra keagungan dan kesetiaan total. Menurut buku ini, yang berjudul Sang Samurai, Kisah 47 Ronin dan Kehebatan Samurai Jepang, praktek Harakiri adalah bukti ajaran Bushido, yang menekankan pada unsur kesetiaan dan ketaatan, atau loyality and filial piety (halaman 25).

Awal Mula
Saat ini bukan berarti Harakiri sudah tanggal. Melainkan masih menjadi praktek non Samurai yang membuat publik Jepang resah. Betapa tidak, aksi bunuh diri ini juga kerap melanda warga biasa. Mulai dari seniman, pelajar, hingga pejabat yang merasa malu karena terlibat skandal. Beberapa publikasi menyebut, pemerintah Jepang mengeluarkan anggaran sangat besar guna menghentikan ”tradisi” bunuh diri di Jepang. Namun, statistik bunuh diri tetap saja tinggi. Menurut beberapa publikasi, seperti dilakukan oleh Far Easteren Economi Review (1983), Japan Times, dan Ministry of Health and Welfare (2006), menyebutkan tak kurang dari 3.000 kasus bunuh diri di Jepang. Tentu saja ini ke luar dari alur tradisi yang sebenarnya.
Penyimpangan dari alur sejarah adalah karena kasus-kasus bunuh diri di Jepang moderen, jauh dari spirit keberanian, kehormatan, dan etika Samurai yang lain. Satu hal yang sangat kentara, bahwa dalam sejarah Harakiri yang sesungguhnya, praktek Harakiri dilakukan dengan ritual yang agung —jauh dari kesan pecundang dan putus asa.
Dalam buku ini, tercantum di halaman 51, tergambar tahap dan proses berlangsungnya Harakiri. Seorang ksatria Samurai yang akan ”bunuh diri”, melakukan beberapa metode khusus. Diantaranya: mandi, mengenakan pakaian terbaik dan biasanya warna putih, memakan makanan yang paling disukai, dan meletakkan alat-alat pembunuh di atas sebuah nampan. Setelah itu, lalu menulis puisi kematian (death poem) yang seindah mungkin. Terakhir, ia harus menyiapkan pisau yang akan digunakan memotong perutnya sendiri, yaitu sebuah pisau pendek yang tajam (bernama tanta). Ritual ini, bagaimanapun bukti bahwa Harakiri bukan aktivitas sembarangan. Hanya orang-orang berani, setia, jujur, dan tahu malu sajalah yang sanggup melakukan. Bukan oleh para pecundang dan pengecut.

Etika Jepang
Nilai-nilai keberanian dan kesetiaan dalam berbakti inilah yang kemudian menjadi ciri unggul manusia Jepang. Dunia telah menyaksikan sendiri, bagaimana Jepang menjadi bangsa unggulan dalam aspek militer (dalam perang dunia dulu), juga kehebatan dalam sisi ekonomi dan ilmu pengetahuan. Etos Jepang yang bersandar pada Religi Tokugawa dan Etos Bushido, menjadi sumber dan inspirasi pada cara hidup kebanyakan orang Jepang. Mereka memiliki harga diri yang tinggi.
Bukan berita aneh, jika di Jepang melakukan kesalahan kecil dan dosa sosial dianggap meruntuhkan harga diri. Jiak seorang pejabat terindikasi korup, mereka memilih mundur —dan bahkan ada yang melakukan bunuh diri. Mereka, Bangsa Jepang, jauh dari watak pengecut dan pecundang. Spirit ini makin membuktikan kedahsyatannya manakala Bangsa Jepang membuka diri dari isolasi panjangnya. Tatkala berlangsung Restorasi Meiji, ketika Kaisar membuat kesepakatan dengan Komodor Perry, untuk membuka Jepang dari keterkungkungan terhadap dunia luar.
Catatan akhir, buku ini sebenarnya bisa lebih menarik andaikata dibuat dengan cara pengisahan, dan bukan mengikuti struktur buku sejarah. Bila itu yang dilakukan, maka cerita-cerita dramatik para Ronin (Samurai kelas bawah) yang legendaris —dan melakukan bunuh diri massal, akan lebih hidup. Tetapi bagaimanapun, sebagai referensi tambahan, buku ini memperkaya khasanah pemikiran kita terhadap budaya Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar